Kamis, 10 Juni 2010

Kau Pinang Aku dengan Hamdalah...

Kalau lihat judul di atas, pasti inget sama judul bukunya ustadz M. Fauzil Adhim. Ku Pinang Engkau dengan Hamdalah. Kalau dilihat sekilas dari judulnya, pasti sepakat dengan saya kalau buku itu ditulis untuk para ikhwan. Coz, pakai kata "ku pinang". Yang lazim meminang kan ikhwan. So, nggak salah kan kalau saya menyimpulkan buku itu buat ikhwan? heuheu :) Padahal isinya ngga gitu juga kok. Lho, kok saya tahu? Hehe,, ya udah baca ateuh. Udah tamat dari zaman fir’aun keur begĂ©r (kata mba rika mah)...

Dalam sebuah perjalanan, tiba-tiba saya merasa sok dewasa. Sok memberikan pemahaman kepada salah seorang sahabat saya tentang sebuah proses menuju jenjang pernikahan. Sok hoyong seuri kalau parede kayak gitu teh. Secara saya sendiri belum merasakan yang namanya pernikahan. Tapi kalau ilmu mah, jangan nunggu pas hari H menjelang kan? Hehe,,

Tentang mencintai dan dicintai. Adalah sesuatu yang fitrah bagi makhluk yang bernama laki-laki dan perempuan. Kata seorang sahabat saya yang lain,”Tiada kebaikan bagi orang yang tidak mencintai ataupun dicintai”. Alangkah bahagianya bisa mencintai dan dicintai. Buat yang pernah merasai itu, tentu saya tak perlu mendeskripskannya. Tapi buat yang belum pernah, cucian deh lo? Hehe,,
Tapi kali ini saya ingin berbagi (sebetulnya minta tolong bantu mikir sih,,,). Tentang sebuah proses yang kadang tidak sesederhana yang kita bayangkan. Karena mau tidak mau kita akan banyak melibatkan orang lain. Melibatkan semua pancaindera, terutama indera keenam. Perasaan.

Pernah tak, terpikir dalam benak temen2 tentang seseorang yang nanti akan menjadi pasangan hidup kita? Tentang masa lalunya? Tentang kisah cintanya? Tentang orang yang pernah dia sukai? Tentang harapannya terhadap seseorang? Afwan, saya tidak bermaksud mematahkan semangat temen2 untuk berproses. Tapi ada yang perlu (sekali lagi, PERLU) kita perhatikan. Bukan untuk didramatisasi, hanya berharap kita dapat bertindak logis atas proses yang kita jalani. Sekali lagi, tulisan ini bukan untuk didramatisasi! Kalau siap, silakan baca lanjutannya...

Manusia punya karakter yang macem-macem. Ada yang cool, melankolis, aktivis, lembut, TP, gaul, rame, silent, dll. Ngga cuman akhwat aja, ikhwan juga lho... (mereka kan manusia juga...hehe,,). Buat kamu yang pernah ngeceng ikhwan (ups), terus ikhwan itu ternyata bukan jodoh kita (dia nikah sama akhwat lain), nah, gimana rasanya? Jujur neeeeeeeeh.... ;) ngga pake bo’ong... pasti sedih kan? (bahkan sakit banget rasanya, hehe,,). Dan sebaliknya, kalau temen-temen pernah ditambak ikhwan, terus nolak dia (karena ada sesuatu yang membuat kita tidak menerimanya), kira-kira temen-temen mikirin perasaan dia ngga? Rasanya sama aja. Patah hati. Broken heart. Kecewa. Atau kasus lain, ketika kita proses dengan seorang ikhwan yang ditinggal sama “kecengannya” (bisa ditinggal nikah, ditinggal pergi, or ditinggal menghadap Illahi, dll), dan dia masih belum mampu melupakannya tapi dia sedang proses sama kita, gimana coba? Apakah kita hanya menjadi bayang-bayang akhwat itu? Oh, jangan sampai... jangan Ya Rabb...

Tapi ini bahasan memang serius. Serius banget...
Kita tidak pernah tahu tentang perasaan atau yang terlintas dalam hati seseorang. Kita hanya manusia biasa. Tak punya kuasa memaksa rasa. Menikah adalah ibadah. Nyaris mustahil ketika kita sama sekali tidak mempunyai kecenderungan terhadap seseorang. Hampir tak mungkin jika kita tak punya selera tentang pasangan hidup (baca: partner dakwah) kita nanti. Ketika suatu saat “waktu itu” tiba, ada suatu harapan bahwa proposal yang diberikan murobbiyah adalah yang tipe gw banget. Tapi, apalah jika kenyataannya tidak demikian? Apa jadinya jika kemungkinannya adalah seperti yang saya sebutkan di atas tadi? Tentunya tak ada yang ingin jadi pelarian bukan? Pastinya tak ada yang ingin jadi bayang-bayang sang pujaan kan? Mengubah rasa bukan sesuatu yang mudah. Memaksa untuk mencinta kita, tentu malah akan menyiksa.

Sahabat, jika waktu itu tiba,
Jangan pernah berharap ia adalah ikhwan yang tak pernah mencinta atau dicinta.
Dan jangan pula pernah berpikir tak pernah ada nama lain selain kita di hatinya.
Namun,
Berdo’alah bahwa kita (aku) adalah permata baginya.
Berdo’alah agar ia merasa beruntung mendapatkan kita (aku) sebagai istrinya, juga sebaliknya.
Berdo’alah agar kita mampu menjadi istri sholehah bagi dirinya.
Tak perlu ungkit-ungkit cintanya yang lalu, jika hanya akan menorehkan luka. Tak perlu bahas cerita dulu, jika hanya akan menyulut bara cinta. Cukuplah menjadi istri sholehah buatnya. Cukuplah kata HAMDALAH yang terucap dari lisannya ketika ia menyunting kita (aku)...
Hamdalah sebagai ungkapan syukur kita untuk saling mencinta karena-Nya
Hamdalah sebagai ungkapan syukur kita untuk saling menerima kekurangan
Hamdalah sebagai ungkapan syukur dan tekad kita untuk berjuang bersama

Maka, cukuplah: Kau pinang aku, dengan hamdalah...

Ya Rabb, segerakanlah kami pada waktu yang barakah dengan seseorang yang Kau berkahi.
Aamiiin Yaa Rabbal 'Aalamiin,,,